Tahukah mengapa shalat dzuhur dan ashar tidak bersuara? Pertanyaan ini
mungkin mewakili sebagian besar masyarakat muslim yang awam akan
keilmuan dan hanya sekedar mengikuti apa yang telah dilakukan oleh ayah,
ibu dan masyarakat di lingkungannya. Padahal mengetahui seluk beluk
agama menjadi wajib bagi seorang muslim.
Terdapat peribahasa yang menyatakan bahwa satu ibadah dengan ilmu lebih
baik daripada seribu ibadah tanpa ilmu. Sehingga dengan demikian kita
perlu mengetahui tata cara shalat seperti hukum mengeraskan bacaan
shalat.
Masalah jahar ataupun sirr ketika melafalkan bacaan surat bukanlah
persoalan apakah itu wajib ataukah sunat dan menjadikan kesalahan
tersebut disempurnakan dengan sujud sahwi layaknya lupa bertasyahud
awal. Akan tetapi bacaan sholat zuhur yang dikeraskan atau tidak, lebih
bertumpu pada kebolehan untuk melaksanakannya atau tidak.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dalam shahih Muslim telah memberitahukan bagaimana keadaan Rasulullah ketika shalat.
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah shalat bersama kami.
Pada shalat zuhur dan ashar, beliau membaca Al Fatihah dan dua surat di
rakaat yang pertama. Sesekali beliau memperdengarkan ayat yang beliau
baca. Adalah beliau memanjangkan bacaan pada rakaat pertama dari salat
zuhur dan memendekkannya pada rakaat yang kedua. Begitu juga pada saat
shalat subuh.”
Dari keterangan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu tersebut menjelaskan
kepada kita terutama dalam kalimat, “Sesekali beliau memperdengarkan
ayat yang beliau baca” bahwa terdapat kebolehan menjaharkan bacaan surat
pada shalat yang biasanya sirr seperti shalat dzuhur ataupun ashar.
Sehingga bacaan yang dilakukan dengan sirr atau jahar bukan menjadi
syarat sahnya suatu sholat.
Firman Allah berikut ini akan semakin memperjelas alasan mengapa shalat dzuhur dan ashar tidak bersuara.
… وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
“… dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah
pula merendahkannya dan carilah jalan tengah diantara keduanya itu.” (QS
Al-Isra’ : 110)
Tafsir ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika Rasulullah berada di
Mekkah, beliau melaksanakan shalat berjamaah bersama para sahabat dengan
mengeraskan bacaan surat. Ketika kaum musyrikin Mekkah mendengarnya,
mereka pun mencaci maki bacaan tersebut, mencaci maki pula Dzat yang
menurunkannya dan mencaci maki orang yang menyampaikannya. Karena sikap
itulah, maka Allah pun berfirman, “Dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu dalam shalatmu” Sehingga jika dipanjangkan maka kalimatnya akan
menjadi, “Jangan keraskan bacaanmu sehingga orang-orang musyrik
mendengarnya.”
Akan tetapi Allah juga menyampaikan, “Dan janganlah pula
merendahkannya.” Sehingga bacaan mesti tetap terdengar oleh para sahabat
yang berada di shaf pertama. Maka karena itu Allah memerintahkan Rasul
untuk mencari jalan pertengahan diantara keduanya.
Dalam riwayat yang lain terdapat keterangan yang menyatakan, “Maka saat
sudah hijrah ke Madinah perintah tersebut telah gugur. Beliau boleh
melakukan yang beliau kehendaki dari keduanya.”
Dengan melihat berbagai keterangan tersebut, maka menzahirkan bacaan
saat shalat maghrib, isya dan subuh serta mensirr-kan bacaan shalat
dzuhur dan ashar adalah pengamalan yang dilakukan saat shalat pertama
kali disyariatkan. Allah memerintahkan tidak menzaharkan ketika siang
hari supaya tidak menjadi celaan bagi kaum musyrikin.
Adapun mengapa shalat jum’at, shalat ied, shalat istisqa beserta solat
lainnya yang dilakukan siang hari bersuara nyaring dikarenakan Nabi dan
kaum muslim sudah hijrah ke Madinah dimana kekuatan umat Islam sudah
terbentuk serta tidak akan ada kaum musyrik yang berani mencela.
Ini Alasan Mengapa Bacaan Sholat Dzuhur dan Ashar Harus Dipelankan
4/
5
Oleh
Berita Viral Indonesia